Senin, 24 Agustus 2009



































Seni Bicara untuk Mengubah Dunia

Tidak semua orang mempunyai kemampuan bicara yang memesona lawan bicara atau pendengarnya. Tak heran, kita sering cepat mengantuk jika mendengarkan seseorang berbicara di depan hadirin dalam rapat umum, seminar, ceramah, atau kuliah. Padahal, materi yang disampaikan sangat penting atau sangat bermutu. Dengan kemampuan bicara yang membosankan, pesan yang penting jadi sia-sia.
Morgan, seorang pakar komunikasi, menyebutkan bahwa faktor kinesthetic connection, yang berasal dari kemampuan mendengar seluruh khalayak dengan memanfaatkan seluruh badan kita, melalui apa saja, termasuk kontak mata sampai ekspresi muka. Semua ini diungkapkannya dalam bukunya Working the Room, yang dilengkapi dengan pendekatan tahap demi tahap. Bagi mereka yang menginginkan kemampuan berbicara di depan publik, Morgan menyertakan berbagai contoh dan kasus.
Pernyataan yang paling menarik dari editor Harvard Management Communication ini adalah, "satu-satunya alasan berbicara di depan publik adalah untuk mengubah dunia." Karena, berbicara di depan publik memerlukan persyaratan, juga persiapan serius. Jadi, kalau tidak untuk mengubah dunia, tiada perlu berbicara di depan publik. Sementara itu, kegiatan seperti menyiapkan pidato, berpidato, dan mendengarkan pidato, semua mempunyai risiko gagal yang besar. Padahal, peluang keberhasilannya kecil. Tak heran, umumnya eksekutif takut berpidato di depan umum. Tak heran, banyak yang melakukannya di menit-menit terakhir sebelum berpidato atau memberikan tugas itu ke orang lain.
Mengumpulkan sekelompok orang di ruangan besar dan memberikan kepada mereka gagasan yang kita miliki, menurut Morgan, merupakan sesuatu yang penting. Ia juga menyebutkan pentingnya hubungan intelektual, emosional dan fisik antara pembicara dan khalayak. Hubungan ini tidak bisa terjadi pada media cetak. Kimiawi hubungan antara pembicara dan pendengar tidak mungkin diwujudkan oleh media lainnya.
Pidato/sambutan/presentasi merupakan kebutuhan mutlak. Ini diperlukan untuk menggerakkan khalayak ke suatu tindakan. Walaupun khalayak bisa membaca pengalaman dari majalah atau buku, untuk menggerakkan mereka hanya bisa dengan mendengar dan melihat langsung penggagasnya. Apalagi, jika disertai solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Bagaimanapun, ini merupakan salah satu bentuk kepercayaan yang mengandung nilai-nilai intelektual dan emosional.
Menurut Morgan, pendiri Public Works, perusahaan penyelenggara pelatihan komunikasi, pembicara harus memahami pandangan khalayak. Artinya, harus divalidasi impuls pembicara sampai ke bentuk tindakan. Pesan pun harus diuji selain integritasnya. Ini sebagian karena pesan nonverbal harus dipelajari, selain kebiasaan dan gerakan tubuh, agar kredibilitas dan keinginan pembicara bisa diinterpretasi. Faktor lain yang juga perlu dari sisi khalayak pendengar adalah sejauh mana pembicara dapat menyampaikan gagasan-gagasannya secara terstruktur, selain kemampuan mengartikulasikan dan mengorganisasi pesan-pesannya.
Salah satu aspek yang menarik dari buku ini adalah dalam memberikan ilustrasi proses yang terdiri dari tiga bagian yang praktis, seperti pengembangan isi, gladi resik dan implementasi. Dalam tiap bagian, keterlibatan khalayak selalu dikedepankan, yang mencakup aspek-aspek emosional, intelektual dan fisik. Morgan menekankan perlunya pesan-pesan inti disampaikan dengan baik melalui teknik suara dan gerakan tubuh yang memikat. Sementara itu, kegugupan yang sering menghinggapi pembicara pemula, hendaknya disalurkan ke bentuk energi positif.
Pendekatan yang ditawarkan Morgan, yang disebut "presentasi yang pusatnya di khalayak" (audience-centered presentation), penekanannya adalah pada khalayak. Dalam kaitan ini, satu hal yang signifikan adalah, setiap pembicaraan di depan publik harus terstruktur. Isinya harus disampaikan ke khalayak sedemikian rupa sehingga bisa mengenal kebutuhan khalayak untuk menyerap informasi. Tentu saja, umpan balik tetap diperlukan, walaupun pembicara mempunyai keterbatasan dalam jumlah perhatian yang bisa diberikan kepada umpan balik yang diterima. Bahkan, pembicara mempunyai keterbatasan dalam cara memberikan respons.
Morgan mengusulkan agar setiap orang yang hendak menjadi pembicara di depan publik harus selalu ingat bahwa tugasnya adalah membawa khalayak pendengar dalam suatu perjalanan dari "mengapa" ke "bagaimana". Sebetulnya, ini merupakan inti perbedaan antara berbicara tatap muka dengan satu orang dan berbicara di depan publik. Berbicara dengan satu atau beberapa orang ada aspek kenikmatan bersama, pertukaran informasi, dan semacam bercerita. Adapun berbicara di depan publik mensyaratkan pembicara memberikan orientasi kepada khalayak. Dengan sendirinya, pembicara harus menyiapkan dengan baik informasi yang akan disampaikan. Konsekuensinya, khalayak yang semula akan mengajukan pertanyaan "mengapa", di akhir presentasi akan bertanya "bagaimana".
Aspek lain yang tidak boleh dilewati adalah latihan atau gladi resik. Banyak eksekutif, politisi dan pendidik yang memandang latihan tidak perlu. Jadi, semua risiko ditumpuk pada saat presentasi. Akibatnya, bisa dibayangkan, penampilannya buruk sekali. Justru dengan latihan, bisa dikoreksi segala sesuatu yang kurang, dari materi presentasi, cara penyampaian, intonasi suara, gerak tubuh, sampai kemampuan membuat khalayak antusias.
Di buku yang menarik perhatian Kim Campbell, mantan Perdana Menteri Kanada ini, Morgan menggarisbawahi bahwa berbicara di depan publik akan berhasil jika fokus utamanya adalah khalayak, bukan diri sendiri. Singkatnya, dengan melupakan diri sendiri, jaminannya adalah berhasil berbicara di depan publik. Sementara pembicara fokus kepada khalayak, khalayak harus fokus pada isi presentasi. Ini bisa terjadi jika pembicara juga bisa berkomunikasi verbal dan nonverbal, yang merupakan inti hubungan kinestetik.
Pada akhirnya, berpidato adalah untuk perubahan. Morgan menekankan perlunya mendidik khalayak agar komit terhadap perubahan. Konsekuensinya, khalayak harus terlibat saat pembicara menyampaikan gagasan. Ini juga yang merupakan kekaguman Gary Hamel, pakar dan penulis sejumlah buku seperti Leading the Revolution dan Competing for the Future.
Morgan tak lupa mengulas aspek yang dikenal sebagai kharisma. Apakah kharisma adalah suatu misteri, gabungan antara pembicara yang tepat, tema yang tepat, waktu yang tepat, dan khalayak yang tepat? Ternyata, jawabannya terletak pada kemampuan pembicara mendengarkan khalayak dan terutama kejujuran, termasuk dalam mengeskpresikan emosi. Dia menyebutkan perlunya belajar dari para orator besar yang memiliki kemampuan retorika tinggi, seperti John F. Kennedy, dengan ucapannya, "Jangan bertanya apa yang negara bisa berikan untukmu, tetapi bertanyalah apa yang kamu bisa berikan untuk negara," atau seperti Jesse Jackson yang dikenal dengan ungkapan "Tetap menjaga agar harapan tetap ada." Kedua orator ini memberikan khalayak untuk mengerjakan sesuatu, tidak hanya bersikap pasif